"Di sana saya tinggal selama enam bulan saat saya baru datang ke Afrika," ujar Zhang.
Ia mengaku berusia 60 tahun saat menjejakkan kaki di Afrika. Ia bisa saja kembali ke negaranya dan tetap hidup bergelimang harta. "Jika saya kembali ke China, saya cukup kaya, rumah saya di Dongguan bahkan memiliki kolam renang. Tapi, saya memilih datang ke sini dan melakukan sesuatu yang sebenarnya sulit," ungkap dia seperti dikutip dari CNN, Kamis (30/8).
Pada 2011, taipan tekstil dari Jianxi ini menjadi salah satu pengusaha China yang pertama kali membuka pabrik di Ethiopia.
Dalam tiga bulan, Huajian memproduksi alas kaki untuk merek-merek, seperti Nine West, Guess, dan sepatu Invanka Trump (sebelum dihentikan).
"Ini sesuatu yang Tuhan ingin saya lakukan," ungkap Zhang.
Ia menganalogikan dirinya sebagai misionaris manufaktur abad ke-21 yang bertujuan menciptakan lebih dari 100 ribu pekerjaan di negara termiskin Afrika. Rwanda adalah negara tujuan Zhang berikutnya untuk membangun pabrik.
"Di China, tidak ada lagi yang mau membuat sepatu," ungkapnya.
Ethiopia tidak diragukan lagi adalah salah satu negara termiskin di Afrika. Namun, kondisi ini mulai berubah. Dalam satu dekade terakhir hingga 2016, ekonomi Ethiopia tumbuh 10 persen per tahun, tercepat di Afrika.
Negara ini memiliki populasi terbesar kedua di Afrika dan tengah menikmati bonus demografi. Dari 100 juta penduduk negara tersebut, 70 persen di antaranya berusia di bawah 30 tahun atau dalam usia produktif. Kendati demikian, Ethiopia memiliki masalah pengangguran yang nyata mencapai 16,8 persen.
Pengusaha seperti Zhang dilihat sebagai tiket keluar dari kemiskinan. Huajian mempekerjakan 7.500 pekerja lokal di dua pabrik besar di wilayah Addis Ababa. "Selama mereka memiliki keterampilan dan pelatihan yang tepat, orang Afrika sama seperti orang Asia dan Eropa," katanya
Sebagai salah satu perusahaan China dengan pekerja terbanyak di Ethiopia, Huajia telah menarik perhatian banyak pihak. Laporan tahun lalu menunjukkan kondisi pekerja yang miskin di pabrik mereka di Guangdong, China dan pekerja yang dibayar di bawah upah minimum menimbulkan banyak kritik.
Kendati banyak kritik yang valid, Huajian tetap beroperasi di tengah kecurigaan Barat terhadap bisnis yang China lakukan di Afrika. Pada Maret lalu, Rex Tillerson yang kala itu menjabat sebagai sekretaris negara AS, mengatakan kepada para pemimpin Afrika di Addis Ababa bahwa investor China tak secara signifikan menciptakan lapangan kerja bagi penduduk lokal.
Komentar tersebut disusul oleh peringatan neo-kolonialisme di Afrika dan impor tenaga kerja China oleh Hillary Clinton dan Barrack Obama, tak lama berselang.
"China adalah ekonomi yang sedang tumbuh dan akan menjadi nomor satu pada 2030. Selalu ada persaingan ketika kekuatan besar mulai berkurang. Tapi kami sebagai orang Afrika, menerima manfaat dari China," ujar Arkabe Oqubay, pejabat pemerintah yang merancang strategi industrialisasi di Ethiopia.
![]() |
Emaway Gashaw meninggalkan keluarga besarnya yang bekerja sebagai petani kopi saat berusia 18 tahun. Ia menempuh perjalanan 10 jam dari kampung halamannya di, Jimma, Ethiopia Barat.
Dia berakhir di Jemo, pinggiran ibukota yang satu dekade lalu adalah desa, tetapi hari ini dipenuhi oleh kondominium beton yang menampung para migran di pedesaan yang mencari pekerjaan, termasuk sepupunya yang lebih tua.
"Ketika saya tiba di sini, saya tidak memiliki peluang apa pun sehingga saya mengambil pekerjaan ini," katanya.
Emaway adalah pengrajin kulit di Huajian Intenational , sebuah taman industri seluas 1,5 juta meter persegi yang, pada akhirnya akan menyediakan perumahan, rumah sakit dan sekolah di tempat, mempekerjakan 100 ribu pekerja.
Dalam 10 tahun terakhir, kawasan industri tersebut menghasilkan pendapatan sekitar US$ 4 miliar.
Ia bekerja dari pukul 8 pagi hingga 5 sore dan dibayar sekitar 1.200 birr Ethiopia atau sekitar Rp642 ribu. "Saya dibayar 1.200 birr sebulan, termasuk lembur. Setelah sewa tempat tinggal dan makan, tidak ada uang yang tersisa," ungkap dia.
Emaaway adalah salah satu pekerja dengan upah terendah. Rekannya, Getachew Tilanun yang sudah bekerja selama dua tahun dan dipromosikan sebanyak dua kali, kini mengantongi upah 2.500 birr atau sekitar Rp1,3 juta per bulan dan memperoleh makanan tiga kali sehari serta memperoleh tempat tinggal.
Tidak seperti 90 persen negara anggota organisasi buruh internasional, Ethiopia tidak memiliki upah minimum. Garis kemiskinan internasional saat ini sebesar US$57 atau Rp832 ribu per bulan.
Dengan upah Rp1,3 juta per bulan, Getachew memiliki tanggung jawab yang besar. Ia bertanggung jawab mengawasi 100 pekerja. Jika dia melakukan kesalahan, upahnya pun terancam dipotong.
Meski pekerjaannya sulit, ia mengaku tak punya pilihan. "Bahkan ayah saya tidak suka menjadi petani. Itu pekerjaan yang sangat tidak berpendidikan," ungkapnya.
Laporan Mc Kinsey tahun lalu menunjukkan lebih dari seribu perusahaan China di bidang konstruksi, manufaktur, perdagangan, real estate, dan jasa tengah dibangun di Afrika, termasuk Ethiopia. Laporan tersebut juga menunjukkan 89 persen karyawannya merupakan orang lokal.
Jutaan pekerjaan telah dibuka China di negara benua ketiga tersebut. Hampir dua pertiga perusahaan China. Hampir dua pertiga perusahaan Cina menyediakan pelatihan keterampilan, sementara separuh menawarkan magang, dan yang ketiga telah memperkenalkan teknologi baru. (CNN)
Tidak ada komentar: